Saturday 18 March 2017

Seni Bertahan Hidup di Belantara Hutan Menamang










       Teman-teman sudah tidur dalam kelambu setelah main kartu tadi. Tinggal aku termangu sendiri di depan tungku yang masih membara samping pondok kayu bulat ini. Makan malam ini cukup istimewa menunya, yaitu rebusan mie sakura dicampur jamur barat satu seraung (caping dayak) dicincangi cabe rawit. Sore tadi memang gerimis di petak 20 daerah Bhirawaini menumbuhkan jamur di area land clearing sekitar 2 hektar ini. Kami berlima pulang ke pondok agak cepat dari biasanya karena memang kayaknya disuruh pulang cepat. Kalau kejadian “brukk !” tadi hanya pengingat saja yang kelihatannya menjadi pengingatku sepanjang usiaku.
       Setelah istirahat siang tadi kami kembali bekerja mencincangi rerumputan menjalar dan ranting kayu tebas-tebang agar lebih mudah ditanami bibit pohon industri. Kami berjajar, aku di tengah dengan parang panjang besi plat yang tajam. Crak.. crookkk… bunyi parang kami. Di depanku ada robot, istilah kami untuk rerimbunan kayu rebah yang sudah ditutupi rumput menjalar berdaun lebar. Rupanya petak ini sudah lama ditinggalkan, tidak dikerjakan. Sementara itu kulihat pepohonan kayu akasia di sekitarnya sudah tinggi. Yang pertama kali bereaksi adalah aneka jenis tawon hutan terbang dari rimbunan dan langsung pergi entah kemana. Pelan-pelan kucincang dari pinggir sementara teman yang lain masih asyik mengayunkan parang malaysianya di sisi kiri-kananku. Mulai kunaiki batang yang rebah dan terus craakk.. croookkk.. lalu “BRUKKK !”
       Samar-samar, terdengar suara teriakan teman-teman. Tidak terlalu jelas apa yang diteriakkan. Sejurus atau beberapa detik aku tenang. Kulihat kedua sikuku sudah nancap di  tanah dengan posisi telapak ke atas. Kedua kaki masih sangkut di atas punggung terkait oleh cabang pohon. Baru kusadari kenapa leher kananku terasa dingin. Rupanya parang masih kugenggam tapi sekarang nempel di leher. Aku sadar sesadar-sadarnya. Lalu pelan-pelan kujauhkan parang ke arah tanah. Kaki kuturunkan pelan-pelan. Setelah berdiri di tengah rerimbunan, kubilang sama teman-teman, “ayok kita kembali ke pondok.” Tapi si Komang bilang agar kita duduk-duduk dulu sambil merokok sebatang, baru kembali ke pondok. Kuikuti. 3-4 kali hisapan rokok pensil barulah kusadari kejadian barusan. Rupanya saking asyiknya mengibaskan parang, tak sengaja terinjak dahan kering nan jabuk yang mengakibatkan jatuh ke bawah. Alchamdulillaah masih jatuh ke bawah, kalau jatuh ke atas pasti akan merepotkan semuanya…
       Seperti biasanya, kalau liburan sekolah di transmigrasi, kumanfaatkan untuk kerja di HTI (Perusahaan Hutan Tanaman Industri) yang ada di sekitar lokasi kami. Yah.. lumayan untuk nyambung hidup. Karena tahun 1993-1994 menjadi guru honorer di daerah transmigrasi tidak seenak sekarang. Guru sekarang relative cukup makmur dari sisi pendapatan bila dibandingkan jaman kami. Punya dua anak yang masih balita, menjadi tantangan tersendiri sebagai kepala keluarga transmigran. SENI BERTAHAN HIDUP…
       Sampai dua hari menjelang libur, belum ada yang mengajak kerja di hutan. Sepulang sekolah, setelah makan siang, kami kedatangan tamu, seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil. Mereka istri dan anak temanku sesama guru honorer. Mereka dari rombongan transmigrasi Bali. Istri temanku ini bilang, bahwa di rumahnya tidak ada beras. Sehingga siang ini mereka belum makan. Tanpa banyak kata, istriku langsung mengajaknya ke ruang dapur. Di dalam blek (kaleng biscuit kong guan) tersisa 1 kilo gram beras. Kami bagi 2, setengah kilo gram kami berikan berikut sedikit minyak goreng dan ikan asin. Mereka berterima kasih lalu pulang ke rumahnya. Yang penting, malam ini kami masih bisa makan malam bersama keluarga tercinta. Urusan apa yang akan dimakan besok pagi, terserah Gusti Allaah ta’aalaa saja.
       Sorenya, setelah sholat ‘ashar, kedatangan tamu lagi. Dia naik motor. Seorang kontraktor pekerjaan di HTI ingin mencari tenaga kerja lima orang. Lalu kuhubungi beberapa teman transmigran yang biasa nyambi, sambil bertani juga kerja serabutan. 2 orang dari NTT, 1 orang dari Bali dan 1 dari Batak yang sudah menikah dengan orang Kutai. Jadwal kerja kami sepakati dan aku ditunjuk sebagai kepala kerja. Sebelum pulang, si kontraktor memberiku uang lima puluh ribu rupiah dan sekarung beras 25 kilo gram sebagai panjar. Beras setengah kilo tadi siang, berubah menjadi sekarung beras dan beberapa kaleng Indomilk, susu kesukaannya anandaku. Alchamdulillaahi robbil ‘aalaamiiin.
       Aku masih duduk di sini, di bawah pondok ini. Terdengar indah aneka suara binatang malam dan dedaunan diterpa sang bayu di tengah malam, di tengah hutan yang kata orang terkenal angker karena bekas area perang antar suku pada jaman dahulu. Kuteruskan ceritaku yoh. Dua hari kemudian kami berangkat dari SP 4 Muara Ancalong (sekarang Ibukota Kecamatan Long Mesangat Kabupaten Kutai Timur Kaltim) menuju sungai lalu menyeberang pakai perahu ke log pond. Saat itu banjir besar. Rangsel berisi baju kerja di atas kepala. Salah satu teman yang berjalan di depanku hamper hanyut terbawa arus banjir, kalau nggak cepat-cepat kuraih. Walaupun akhirnya semua bajuku basah. Sesampai di kamp karyawan, kami naik mobil pick up naik meenuju hutan Benamang/Menamang. Sesampai di lokasi, setelah bikin pondok, pas mandi di sungai kecil di samping bekas pondok orang, kami bertemu dengan orang Sebulu yang kerja bikin atap sirap. Atap rumah yang terbuat dari kayu ulin. Dia cerita, kalau petak yang akan kami kerjakan itu petak bermasalah. Disebut bermasalah karena tidak ada yang mau mengerjakan petak 20 ini. Petak ini terkenal angker. Ceritanya, kelompok kerja yang pertama kali ke sini, setelah bikin pondok, 1 orang sedang membersihkan rumput depan pondok. Tiba-tiba cabang pohon di dekat situ patah dan langsung jatuh mengenai kepala si bapak. Meninggal di tempat. Rombongan itu langsung angkat kaki, pulang. Barang-barang mereka masih di dalam pondok. Yang terlihat di depan luarnya hanya baju dan beberapa seraung… Dalam hatiku, “Apaa yang kutakuti.Yang kutakuti kalau susu indomilk anakku habis !”