Tuesday, 13 August 2013

Kata Mutiara Terindah 2013 (2) Perjalanan Bangil-Bali Medio 1988


BERANI KARENA BENAR, TAKUT KARENA SALAH

Baiklah sahabat terbaikku, hari ini kuteruskan lagi cerita hidupku yang mungkin bermanfaat buat kalian, dimana saja berada. Setelah lulus sekolah, aku tak dapat melanjutkan kuliah karena factor biaya. Saat itu, tak ada yang memberiku jalan keluar. Di kampungku, kebanyakan bekerja sebagai pengrajin emas dan perak (sebelum krismon). Tapi bidang ini tidak menarik minatku, entah mengapa. Dengan bekal ijin orang tua, aku akhirnya merantau, ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi hanya dengan bekal hafalan kode seri nomor kendaraan Jawa Bali Sumatra.

Tujuan pertamaku adalah Pulau Dewata Bali dengan kode plat nomor kendaraan DK. Aku naik bis tujuan Probolinggo. Kemudian ganti menumpang truk gandengan tujuan Bali, sehabis isya meninggalkan simpang empat Probolinggo. Sempat deg-degan saat melewati alas hutan jati Taman Nasional dan penyeberangan feri Gilimanuk, akhirnya jam 1 malam, truk ini berhenti di simpang 4 sebuah kota di tengah-tengah pulau Bali, yaitu Karang Asam. Aku turun, istirahat sebentar setelah bertanya kepada penjual kopi kemana arah jalan menuju Denpasar. Beliau menunjuk arah selatan. Di kegelapan malam, kususuri jalan aspal yang naik turun ini. Saat itu, tak ada rasa ketakutan sama sekali, yang kata orang ada leak dan sebagainya. Aku hanya membaca sholawat nabi Muhammad sepanjang malam ini. Saat pagi berkokok, tibalah di sebuah desa, aku singgah di sebuah rumah untuk minta minum air putih. Setelah berbincang dengan orang tua ini, aku minta ijin melanjutkan perjalanan menuju Denpasar dengan menumpang mobil pengangkut batu. Sekitar jam 8 pagi, aku menginjakkan kaki kananku di Pusat Kota Denpasar.

Satu jam aku berkeliling kota modern ini, kususuri setiap sudut, ternyata ada satu masjid, lalu aku bertanya kepada orang di situ, kemana arah menuju Kuta yang katanya banyak turisnya itu. Aku kemudian menuju kearah selatan sesuai petunjuk. Lututku terasa nyeri, aku duduk selonjor di sebuah trotoar bersandar di pagar beton, sambil memandangi hilir-mudik kendaraan. Tak  berapa lama, lewatlah seorang ibu nyuwun/membawa nampan bamboo di kepalanya yang berisikan aneka macam makanan lalu masuk ke dalam pagar ini. Ternyata sebuah Pura, tempat sembahyang sahabat yang beragama Hindu. Kuamati dari balik pagar, si ibu setelah berdoa, ternyata nampan tadi di tinggal di salah satu bangunan yang aku ngga tau namanya, yang pasti sebuah patung. Setelah ibu ini keluar, aku masuk ke dalam Pura ini.  Kuamati sekeliling, ngga ada satu orangpun di sini. Kudekati makanan yang ditinggalkan ibu tadi, kulihat ada aneka buah-buahan, diantaranya manggis, jeruk, mangga, apel, sebotol minuman dan beberapa makanan basah serta uang logam. Karena aku sedang kelaparan dan tak punya uang, aku berbisik kepada patung besar ini, kira-kira demikian: “Mbah, permisi, cucunya lagi kelaparan, aku ambil buahnya saja ya?” Tanpa menunggu jawaban yang kuyaqini dia setuju, kumasukkan beberapa buah tadi ke dalam tas kumalku. Aku masih duduk di bawah beringin rindang sambil makan sebuah apel.

Perlu waktu lebih sejam jalan kaki dari Denpasar menuju Kota Kuta dengan pantainya yang indah. Sudah sore aku nyampe di bibir pantai pasir putih ini. Saat itu, English-ku masih aktif, sehingga masih pede menyapa bule-bule yang berkeliaran di sini. Saat mandi, aku berkenalan dengan satu anak muda yang sebaya denganku. Dia anak Tanggul, Jember. Bekerja di sebuah bangunan hotel tak jauh dari tempat kami berenang. Setelah mendengar kisahku, dia mengajakku bekerja bersamanya. Sehabis maghrib, aku ditemukan dengan sang mandor di base camp bangunan Hotel Kartika Plaza Kuta Bali. Mereka tergabung dalam INKOPAD sedang mengerjakan Ball room. Aku diterima bekerja sebagai tukang cat dan pelitur.  Dari sisi penghasilan, cukuplah buat ditabung karena banyak lemburan. Dari sisi enjoy-nya suasana, aku menikmati karena yang nginap di hotel ini kebanyakan wisman. Kalau hari minggu kami pesiar mengunjungi rumah teman pengukir yang sama-sama mengerjakan proyek ini. Sampai bangunan ini selesai di akhir Desember, aku belum punya kenalan cewek Bali, belum pede blas. Proyek pindah ke Jakarta, aku memilih pulang ke Bangil, menyerahkan tabungan hasil kerjaku 4 bulan di Bali kepada Emak buat menggarap sawah.


Pelajaran yang dapat kalian ambil dari cerita ini, diantaranya adalah: keberanian. Dengan mental berani menanggung resiko yang ada, sebenarnya kita sudah dapat menyelesaikan masalah yang akan kita hadapi. 

Jadilah pemuda pemberani: BERANI KARENA BENAR, TAKUT KARENA SALAH