BERANI KARENA BENAR, TAKUT KARENA SALAH
Baiklah sahabat terbaikku, hari ini kuteruskan lagi cerita
hidupku yang mungkin bermanfaat buat kalian, dimana saja berada. Setelah lulus
sekolah, aku tak dapat melanjutkan kuliah karena factor biaya. Saat itu, tak
ada yang memberiku jalan keluar. Di kampungku, kebanyakan bekerja sebagai
pengrajin emas dan perak (sebelum krismon). Tapi bidang ini tidak menarik
minatku, entah mengapa. Dengan bekal ijin orang tua, aku akhirnya merantau,
ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi hanya dengan bekal
hafalan kode seri nomor kendaraan Jawa Bali Sumatra.
Tujuan pertamaku adalah Pulau Dewata Bali dengan kode plat
nomor kendaraan DK. Aku naik bis tujuan Probolinggo. Kemudian ganti menumpang
truk gandengan tujuan Bali, sehabis isya meninggalkan simpang empat Probolinggo.
Sempat deg-degan saat melewati alas hutan jati Taman Nasional dan penyeberangan
feri Gilimanuk, akhirnya jam 1 malam, truk ini berhenti di simpang 4 sebuah
kota di tengah-tengah pulau Bali, yaitu Karang Asam. Aku turun, istirahat
sebentar setelah bertanya kepada penjual kopi kemana arah jalan menuju
Denpasar. Beliau menunjuk arah selatan. Di kegelapan malam, kususuri jalan
aspal yang naik turun ini. Saat itu, tak ada rasa ketakutan sama sekali, yang
kata orang ada leak dan sebagainya. Aku hanya membaca sholawat nabi Muhammad
sepanjang malam ini. Saat pagi berkokok, tibalah di sebuah desa, aku singgah di
sebuah rumah untuk minta minum air putih. Setelah berbincang dengan orang tua
ini, aku minta ijin melanjutkan perjalanan menuju Denpasar dengan menumpang
mobil pengangkut batu. Sekitar jam 8 pagi, aku menginjakkan kaki kananku di
Pusat Kota Denpasar.
Satu jam aku berkeliling kota modern ini, kususuri setiap
sudut, ternyata ada satu masjid, lalu aku bertanya kepada orang di situ, kemana
arah menuju Kuta yang katanya banyak turisnya itu. Aku kemudian menuju kearah selatan
sesuai petunjuk. Lututku terasa nyeri, aku duduk selonjor di sebuah trotoar bersandar
di pagar beton, sambil memandangi hilir-mudik kendaraan. Tak berapa lama, lewatlah seorang ibu
nyuwun/membawa nampan bamboo di kepalanya yang berisikan aneka macam makanan
lalu masuk ke dalam pagar ini. Ternyata sebuah Pura, tempat sembahyang sahabat
yang beragama Hindu. Kuamati dari balik pagar, si ibu setelah berdoa, ternyata
nampan tadi di tinggal di salah satu bangunan yang aku ngga tau namanya, yang
pasti sebuah patung. Setelah ibu ini keluar, aku masuk ke dalam Pura ini. Kuamati sekeliling, ngga ada satu orangpun di
sini. Kudekati makanan yang ditinggalkan ibu tadi, kulihat ada aneka
buah-buahan, diantaranya manggis, jeruk, mangga, apel, sebotol minuman dan
beberapa makanan basah serta uang logam. Karena aku sedang kelaparan dan tak
punya uang, aku berbisik kepada patung besar ini, kira-kira demikian: “Mbah,
permisi, cucunya lagi kelaparan, aku ambil buahnya saja ya?” Tanpa menunggu
jawaban yang kuyaqini dia setuju, kumasukkan beberapa buah tadi ke dalam tas
kumalku. Aku masih duduk di bawah beringin rindang sambil makan sebuah apel.
Perlu waktu lebih sejam jalan kaki dari Denpasar menuju Kota
Kuta dengan pantainya yang indah. Sudah sore aku nyampe di bibir pantai pasir
putih ini. Saat itu, English-ku masih aktif, sehingga masih pede menyapa
bule-bule yang berkeliaran di sini. Saat mandi, aku berkenalan dengan satu anak
muda yang sebaya denganku. Dia anak Tanggul, Jember. Bekerja di sebuah bangunan
hotel tak jauh dari tempat kami berenang. Setelah mendengar kisahku, dia
mengajakku bekerja bersamanya. Sehabis maghrib, aku ditemukan dengan sang
mandor di base camp bangunan Hotel Kartika Plaza Kuta Bali. Mereka tergabung
dalam INKOPAD sedang mengerjakan Ball room. Aku diterima bekerja sebagai tukang
cat dan pelitur. Dari sisi penghasilan,
cukuplah buat ditabung karena banyak lemburan. Dari sisi enjoy-nya suasana, aku
menikmati karena yang nginap di hotel ini kebanyakan wisman. Kalau hari minggu
kami pesiar mengunjungi rumah teman pengukir yang sama-sama mengerjakan proyek
ini. Sampai bangunan ini selesai di akhir Desember, aku belum punya kenalan
cewek Bali, belum pede blas. Proyek pindah ke Jakarta, aku memilih pulang ke
Bangil, menyerahkan tabungan hasil kerjaku 4 bulan di Bali kepada Emak buat
menggarap sawah.
Pelajaran yang dapat kalian ambil dari cerita ini,
diantaranya adalah: keberanian. Dengan mental berani menanggung resiko yang
ada, sebenarnya kita sudah dapat menyelesaikan masalah yang akan kita hadapi.
Jadilah pemuda pemberani: BERANI KARENA BENAR, TAKUT KARENA SALAH.