Wednesday, 14 August 2013

Motivasi/Inspirasi 4 JEJAK SANG GURU: Saringan Nyawa

Kerja rok-rok asem (Jawa) di awal pernikahan karena belum punya pekerjaan tetap, sungguh sangatlah menderita, sahabatku. Sampai anak pertama lahir, hidupku masih dipandang sebelah mata oleh orang sekampung.  Sampai akhirnya, aku harus memutuskan untuk hijrah ke Kalimantan Timur melalui program transmigrasi umum pada tanggal 23 Juli 1993.

Menyeberangi Laut Jawa dengan KM Melodi, adalah pengalaman pertama kami, saya, istri dan anak pertama kami yang saat itu berusia 1,5 tahun. Semalaman aku tidak tidur di atas kapal barang ini, sholat dan terus membaca sholawat seperti yang dipesankan bapakku yang seorang nelayan. Melewati Masalembo(pusaran laut nan ganas) saat dini hari, dengan ombak besar, alhamdulillaah dibayar dengan indahnya matahari terbit di pagi hari yang indah di atas lautan nan luas ini. Setelah melewati selat Makasar, kemudian masuk Sungai Mahakam, sampailah kami di Kota Tepian Samarinda. Kemudian disambung dengan kapal kecil/kapal klotok KM Samamanis menyusuri sampai ke pehuluan Sungai Mahakam dua hari dua malam. Di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Muara Ancalong IV inilah tonggak sejarah kami ditancapkan. Nama desanya Sumber Sari, sekarang Ibukota Kecamatan Long Mesangat Kabupaten Kutai Timur.

“Assalaamu alaikum Allah yang datang, assalaamu alaikum Muhammad yang datang,” kalimat inilah yang kuucapkan saat tiba di tempat perjuangan yang baru ini. Rumah sudah disiapkan, jadup=jatah hidup setahun disediakan. Kelihatannya anak-istriku enjoy saja. Aku mulai mendirikan sekolah untuk anak-anak transmigran di balai desa bersama teman se-SPG Pasuruan yang satu kapal dengan kami. Mulailah ijasah guru yag sekian lama nganggur dapat dimanfaatkan untuk anak bangsa di pedalaman Kalimantan ini, dengan honor dari Deptrans sebesar Rp.25.000 per bulan. Di sini juga aku mulai belajar bertani dan beternak ayam kampong.

Ternyata, skill pengalaman saat di Jawa sangat bermanfaat di sini. Aku sudah menjadi Joker, menjadi apa saja bisa untuk kemaslahatan warga sekitar. Dengan modal keberanian, aku bersedia mengurusi masjid, menjadi imam dan khotib, mengajar ngaji sampai merawat jenazah. Di bidang kesenian, aku mendirikan kesenian ludruk dan wayang kulit serta mendorong terbentuknya kesenian dari suku lainnya, Bali, Sunda dan NTT. Dengan adanya hiburan ini, kami menjadi kerasan. Dengan proposal yang kami ajukan, perangkat kesenian datang dari mana saja. Yang terakhir, kami mendirikan grup band sebagai wadah kreatifitas teman pemuda, dengan bantuan alat band dari Deptrans. Bahkan band kami tidak kalah dari band perusahaan sekitar. SDM yang ada cukup untuk merealisasikan ide-ide segar kami. Intinya, pilot saja yang kami belum punya.

Setahun kami melaksanakan aktifitas pembelajaran di balai desa. Tahun berikutnya sudah dibangun gedung SD permanen, kami sangatlah senang. Pada akhir 1994, kami mengikuti tes CPNS di Tenggarong. Sepeda pancal dan beberapa ekor ayam aku jual buat hidup selama di Kotaraja ini. Namanya juga usaha, begitu pengumuman, kami tidak ada yang lulus. Yang ditempatkan di sekolah kami adalah guru-guru yang sudah lulus tes, domisili dari kota. Welcome.

Oh ya, aku pernah mendapatkan cobaan berat. Cobaan pertama, sepulang dari menghadiri perayaan tahun baru 1994 di Desa Gemar Baru, Kampung Dayak, kaki kananku terserang ulat bulu, sangat gatal, pusatnya di mata kaki. Kondisinya melepuh, bengkak sekujur kaki dari telapak sampai paha. Ketika dibawa teman ke puskesmas yang jauh, aku harus digendong, karena ngga bisa jalan sama sekali. Saat dipencet oleh mantri/perawat kesehatan di puskesmas, nanah campur darah muncrat ke seluruh ruangan. Baunya busuk. Aku diberikan obat. Beberapa hari ngesot di dalam rumah sederhana ini. Sempat ditawari/diobati oleh orang tua suku Kutai, namanya Pak Ca’uy, dengan ramuan dari rerumputan/dedaunan, yang akhirnya mengempeskan bengkakku. Sedikit-sedikit sudah mulai bisa berjalan dengan kruk yang kubikin dari papan. Kupaksakan berangkat ke balai desa buat mengajar anak-anak dengan kruk ini. Mungkin doa anak-anak inilah yang akhirnya menyembuhkan borok ini.

Cobaan kedua yaitu pada awal 1995, saat awal bulan puasa, mendapatkan telegram dari kakakku bahwa bapakku meninggal dunia karena liver. Rasanya ingin terbang saja tubuh ini, sementara itu rumah mau dijual juga nggak laku. Kami hanya dapat menghadirkan doa buat beliau setiap selesai sholat. Di tengah keputus-asaan ini, lahirlah anak kedua kami, lahir tanpa dukun bayi/bidan dengan tips dari orang Dayak yang biasa singgah di rumah kami. Tulisan tentang ini sudah kuposting di blog ini. Subhaanallaah wa bihamdihii, subhaanallaahil ‘adziim…

Kesabaran ini laksana sabarnya Ya’kub yang disebut dalam Al-Qur aanul kariim sebagai shobrun jamiil, sabar yang indah. Buah dari kesabaran itu adalah kuterima telegram dari Kanwil Deptrans Propinsi Kalimantan Timur  pada pertengahan 1996, tentang pemanggilan diriku untuk mengikuti kuliah D2 PGSD di FKIP Universitas Mulawarman Samarinda selama kurang lebih 2,5 tahun dengan biaya penuh dari Kanwil Deptrans. Kami pun sekeluarga berangkat ke Samarinda untuk mengikuti program mulia ini. Suka duka hidup di Kota dengan dua anak yang masih balita, sungguh cerita tersendiri, yang merupakan bagian integral sejarah perjuangan keluarga kami di rantau ini.

Mengisi waktu luang atau saat liburan adalah kewajibanku sebagai kepala keluarga. Saat masih di lokasi transmigrasi, kalau libur sekolah, biasa aku mengambil kerja borongan di Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) agar anak-anak tetap dapat minum susu Dancow yang kalengan itu. Hutan yang paling angker, kata orang, sudah pernah kujelajahi, demi asap dapur tetap mengepul. Hutan Menamang, Hutan ITCI Kenangan dan Longnah. Saat itu, sepertinya aku sudah menyatu dengan alam belantara ini. Kejadian-kejadian ‘antara hidup dan mati’ saat di hutan, kulalui dengan baik. Orang lain pada terkena malaria tropikana sampai rontok rambutnya, ada yang gila bahkan tetanggaku anak NTT sampai meninggal dunia, aku rajin minum pil kina sesuai anjuran tokoh masyarakat setempat. Hanya dengan sholawat nabi. Nggak pernah rugi jadi orang di lingkungan santri Bangil. Juga ngga pernah rugi berbuat baik dengan siapa saja, apapun suku dan agamanya, menanam kebaikan, panen kebaikan pula. Demikian juga saat kuliah di Samarinda, di sela-sela kuliah/saat liburan, aku nyambi kerja di proyek bangunan. Tonggak-tonggak itu diantaranya, sebuah ruko di Jalan Lambungmangkurat, Mall Lembuswana, kubah menara Masjid Jami’ Tenggarong dan Kolam renang Stadion Rondong Demang di Tenggarong. Saat lembur mengecor tribun kolam renang ini, telapak kaki kiriku tertusuk besi 8 yang berkarat. Malamnya menggigil, pandangan gelap. Paginya dibopong teman naik becak menuju RSUD Parikesit Tenggarong. Seminggu ngga bisa jalan…. Bekas jahitannya masih jelas melekat, sampai sekarang.


Pelajaran dari kisah di bagian ini diantaranya adalah ketika kita menanam kebaikan dengan ikhlas, niscaya akan berbuah kebaikan, kalau nggak kita, pastilah keturunan/keluarga kita yang memetiknya. Inilah rumus hidup/penghidupan ini, sahabat terbaikku.