Kerja rok-rok asem (Jawa) di awal pernikahan karena belum
punya pekerjaan tetap, sungguh sangatlah menderita, sahabatku. Sampai anak
pertama lahir, hidupku masih dipandang sebelah mata oleh orang sekampung. Sampai akhirnya, aku harus memutuskan untuk
hijrah ke Kalimantan Timur melalui program transmigrasi umum pada tanggal 23
Juli 1993.
Menyeberangi Laut Jawa dengan KM Melodi, adalah pengalaman
pertama kami, saya, istri dan anak pertama kami yang saat itu berusia 1,5
tahun. Semalaman aku tidak tidur di atas kapal barang ini, sholat dan terus
membaca sholawat seperti yang dipesankan bapakku yang seorang nelayan. Melewati
Masalembo(pusaran laut nan ganas) saat dini hari, dengan ombak besar,
alhamdulillaah dibayar dengan indahnya matahari terbit di pagi hari yang indah
di atas lautan nan luas ini. Setelah melewati selat Makasar, kemudian masuk
Sungai Mahakam, sampailah kami di Kota Tepian Samarinda. Kemudian disambung
dengan kapal kecil/kapal klotok KM Samamanis menyusuri sampai ke pehuluan
Sungai Mahakam dua hari dua malam. Di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Muara
Ancalong IV inilah tonggak sejarah kami ditancapkan. Nama desanya Sumber Sari,
sekarang Ibukota Kecamatan Long Mesangat Kabupaten Kutai Timur.
“Assalaamu alaikum Allah yang datang, assalaamu alaikum
Muhammad yang datang,” kalimat inilah yang kuucapkan saat tiba di tempat
perjuangan yang baru ini. Rumah sudah disiapkan, jadup=jatah hidup setahun
disediakan. Kelihatannya anak-istriku enjoy saja. Aku mulai mendirikan sekolah
untuk anak-anak transmigran di balai desa bersama teman se-SPG Pasuruan yang
satu kapal dengan kami. Mulailah ijasah guru yag sekian lama nganggur dapat
dimanfaatkan untuk anak bangsa di pedalaman Kalimantan ini, dengan honor dari
Deptrans sebesar Rp.25.000 per bulan. Di sini juga aku mulai belajar bertani
dan beternak ayam kampong.
Ternyata, skill pengalaman saat di Jawa sangat bermanfaat di
sini. Aku sudah menjadi Joker, menjadi apa saja bisa untuk kemaslahatan warga
sekitar. Dengan modal keberanian, aku bersedia mengurusi masjid, menjadi imam
dan khotib, mengajar ngaji sampai merawat jenazah. Di bidang kesenian, aku
mendirikan kesenian ludruk dan wayang kulit serta mendorong terbentuknya
kesenian dari suku lainnya, Bali, Sunda dan NTT. Dengan adanya hiburan ini,
kami menjadi kerasan. Dengan proposal yang kami ajukan, perangkat kesenian
datang dari mana saja. Yang terakhir, kami mendirikan grup band sebagai wadah
kreatifitas teman pemuda, dengan bantuan alat band dari Deptrans. Bahkan band
kami tidak kalah dari band perusahaan sekitar. SDM yang ada cukup untuk
merealisasikan ide-ide segar kami. Intinya, pilot saja yang kami belum punya.
Setahun kami melaksanakan aktifitas pembelajaran di balai
desa. Tahun berikutnya sudah dibangun gedung SD permanen, kami sangatlah
senang. Pada akhir 1994, kami mengikuti tes CPNS di Tenggarong. Sepeda pancal
dan beberapa ekor ayam aku jual buat hidup selama di Kotaraja ini. Namanya juga
usaha, begitu pengumuman, kami tidak ada yang lulus. Yang ditempatkan di
sekolah kami adalah guru-guru yang sudah lulus tes, domisili dari kota.
Welcome.
Oh ya, aku pernah mendapatkan cobaan berat. Cobaan pertama,
sepulang dari menghadiri perayaan tahun baru 1994 di Desa Gemar Baru, Kampung
Dayak, kaki kananku terserang ulat bulu, sangat gatal, pusatnya di mata kaki.
Kondisinya melepuh, bengkak sekujur kaki dari telapak sampai paha. Ketika
dibawa teman ke puskesmas yang jauh, aku harus digendong, karena ngga bisa
jalan sama sekali. Saat dipencet oleh mantri/perawat kesehatan di puskesmas,
nanah campur darah muncrat ke seluruh ruangan. Baunya busuk. Aku diberikan
obat. Beberapa hari ngesot di dalam rumah sederhana ini. Sempat
ditawari/diobati oleh orang tua suku Kutai, namanya Pak Ca’uy, dengan ramuan
dari rerumputan/dedaunan, yang akhirnya mengempeskan bengkakku. Sedikit-sedikit
sudah mulai bisa berjalan dengan kruk yang kubikin dari papan. Kupaksakan
berangkat ke balai desa buat mengajar anak-anak dengan kruk ini. Mungkin doa
anak-anak inilah yang akhirnya menyembuhkan borok ini.
Cobaan kedua yaitu pada awal 1995, saat awal bulan puasa,
mendapatkan telegram dari kakakku bahwa bapakku meninggal dunia karena liver.
Rasanya ingin terbang saja tubuh ini, sementara itu rumah mau dijual juga nggak
laku. Kami hanya dapat menghadirkan doa buat beliau setiap selesai sholat. Di
tengah keputus-asaan ini, lahirlah anak kedua kami, lahir tanpa dukun
bayi/bidan dengan tips dari orang Dayak yang biasa singgah di rumah kami.
Tulisan tentang ini sudah kuposting di blog ini. Subhaanallaah wa bihamdihii,
subhaanallaahil ‘adziim…
Kesabaran ini laksana sabarnya Ya’kub yang disebut dalam
Al-Qur aanul kariim sebagai shobrun jamiil, sabar yang indah. Buah dari
kesabaran itu adalah kuterima telegram dari Kanwil Deptrans Propinsi Kalimantan
Timur pada pertengahan 1996, tentang
pemanggilan diriku untuk mengikuti kuliah D2 PGSD di FKIP Universitas
Mulawarman Samarinda selama kurang lebih 2,5 tahun dengan biaya penuh dari
Kanwil Deptrans. Kami pun sekeluarga berangkat ke Samarinda untuk mengikuti
program mulia ini. Suka duka hidup di Kota dengan dua anak yang masih balita,
sungguh cerita tersendiri, yang merupakan bagian integral sejarah perjuangan keluarga
kami di rantau ini.
Mengisi waktu luang atau saat liburan adalah kewajibanku
sebagai kepala keluarga. Saat masih di lokasi transmigrasi, kalau libur
sekolah, biasa aku mengambil kerja borongan di Perusahaan Hutan Tanaman
Industri (HTI) agar anak-anak tetap dapat minum susu Dancow yang kalengan itu.
Hutan yang paling angker, kata orang, sudah pernah kujelajahi, demi asap dapur
tetap mengepul. Hutan Menamang, Hutan ITCI Kenangan dan Longnah. Saat itu,
sepertinya aku sudah menyatu dengan alam belantara ini. Kejadian-kejadian
‘antara hidup dan mati’ saat di hutan, kulalui dengan baik. Orang lain pada
terkena malaria tropikana sampai rontok rambutnya, ada yang gila bahkan
tetanggaku anak NTT sampai meninggal dunia, aku rajin minum pil kina sesuai
anjuran tokoh masyarakat setempat. Hanya dengan sholawat nabi. Nggak pernah
rugi jadi orang di lingkungan santri Bangil. Juga ngga pernah rugi berbuat baik
dengan siapa saja, apapun suku dan agamanya, menanam kebaikan, panen kebaikan
pula. Demikian juga saat kuliah di Samarinda, di sela-sela kuliah/saat liburan,
aku nyambi kerja di proyek bangunan. Tonggak-tonggak itu diantaranya, sebuah
ruko di Jalan Lambungmangkurat, Mall Lembuswana, kubah menara Masjid Jami’
Tenggarong dan Kolam renang Stadion Rondong Demang di Tenggarong. Saat lembur
mengecor tribun kolam renang ini, telapak kaki kiriku tertusuk besi 8 yang
berkarat. Malamnya menggigil, pandangan gelap. Paginya dibopong teman naik
becak menuju RSUD Parikesit Tenggarong. Seminggu ngga bisa jalan…. Bekas
jahitannya masih jelas melekat, sampai sekarang.
Pelajaran dari kisah di bagian ini diantaranya adalah ketika
kita menanam kebaikan dengan ikhlas, niscaya akan berbuah kebaikan,
kalau nggak kita, pastilah keturunan/keluarga kita yang memetiknya. Inilah
rumus hidup/penghidupan ini, sahabat terbaikku.