ALL IS WELL, SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA.
Masih berbekal hafalan kode plat mobil, kuteruskan
perjalanan menuju arah barat Jawa, setelah sebulan bersama keluarga tercinta.
Masih kuingat, Bude menjual seekor ayam jagonya buat bekalku di jalan. Sahabat,
saat itu, kakiku masih sangat kuat, terbukti saat truk yang kutumpangi belok
kiri ke arah Bojonegoro, dalam kecepatan
itu, aku dapat turun ngga pake jatuh. Caranya, ketika akan turun usahakan badan
condong ke depan, niscaya ngga akan jatuh. Demikian juga kalau sedang berdiri
dalam bus, mainnya hanya di kelenturan lutut. Kalau bus ngerem, mainkan betis
sedemikian rupa ditekuk mengikuti arah mobil condong.
Truk yang kutumpangi berikutnya berplat F, tujuan Bogor dan
sekitarnya. Saat di simpang 4 Bekasi aku turun, istirahat di musholla kecil,
tak jauh dari persimpangan ini. Ba’da maghrib, aku jalan kaki mengikuti jalan
raya ini menuju Ibukota Jakarta. Aku nggak ingat persisnya jam berapa
nginjakkan kaki di kaki Monas, saat itu sudah mulai sepi. Aku beli sate
singkong dan minum teh sambil memandangi puncak monas dan gedung di sekitarnya.
Kira-kira tengah malam, aku menuju ke Masjid Istiqlal, masjid terbesar di negri
ini. Setelah meminta ijin kepada penjaga di situ, akhirnya diijinkan tidur di
bagian belakang masjid. Setelah sholat shubuh berjamaah, aku keliling masjid,
naik ke tingkat paling atas, kulihat indahnya Jakarta berselimutkan pagi.
Tujuanku pagi ini adalah Sumatera. Maka segeralah aku parkir
di persimpangan Grogol setelah melewati jalanan yang aku ngga hafal namanya.
Yang kuingat hanya Universitas Trisakti karena sempat istirahat minum es teh di
depan gedung tersebut. Sudah kuhafal kendaraan yang menuju Sumatera. Tak lama
menunggu di lampu merah, ada truk kosong dengan tujuan Pulau Sumatera, aku
cepat naik tanpa diketahui sopir. Truk melaju kencang di jalan tol. Ternyata
truk ini belok di Bitung menuju kea rah Tangerang berhenti di depan sebuah
pabrik.Aku turun bersamaan dengan keluarnya karyawan saat istirahat siang. Aku
sudah ngga tau arah, aku terus saja jalan, sampailah aku di simpang 3
Jatiuwung. Aku duduk-duduk di warung Pak Usman yang orang Jawa. Ngobrol
sana-sini, beliau mau bantu masukkan aku kerja di pabrik di samping warungnya.
Sempat bantu-bantu di sini, makanya, aku bisa masak menu Jawa.
Dua tahun aku kerja serabutan di Tangerang ini, bosen kerja
di pabrik, aku kembali kerja bangunan, sampai kulitku gosong. Fotokopian ijasah
ini selalu kubawa, kemana pun aku pergi. Naluri keguruanku tetap ingin menjadi
guru, belum kesampaian sampai saat itu. Kapankah saat itu datang? Pengalaman
hidup dua tahun ini cukup menempaku, bagaimana hidup sendirian di perantauan.
Suka-duka ini mengantarkanku bertemu seorang perempuan asal Kendal Jateng yang
sekarang mendampingiku (semoga kekal terus, aamiin). Dia kerja di pabrik sepatu
Spotec, kost-kostannya bersebelahan denganku. Singkat cerita, kami menikah di
Nopember 1990.
Pelajaran yang dapat kalian ambil adalah bumi Allah ini
luas, menyediakan kita untuk melihatnya. Demikian juga Ilmu Allah sangatlah
luas untuk kemaslahatan kita, AlQur’an dalam arti luas terbentang di hadapan
kita untuk kita raih sebagai sarana kompas kita melanjutkan perkehidupan
ini. Dimanapun kita berada, suka-duka
itu biasa, asal kita yaqin, ALL IS WELL, SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA.