Wednesday 14 August 2013

Motivasi/Inspirasi 3 Antara Bangil-Tangerang Awal 1989

ALL IS WELL, SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA.
Masih berbekal hafalan kode plat mobil, kuteruskan perjalanan menuju arah barat Jawa, setelah sebulan bersama keluarga tercinta. Masih kuingat, Bude menjual seekor ayam jagonya buat bekalku di jalan. Sahabat, saat itu, kakiku masih sangat kuat, terbukti saat truk yang kutumpangi belok kiri ke arah Bojonegoro,  dalam kecepatan itu, aku dapat turun ngga pake jatuh. Caranya, ketika akan turun usahakan badan condong ke depan, niscaya ngga akan jatuh. Demikian juga kalau sedang berdiri dalam bus, mainnya hanya di kelenturan lutut. Kalau bus ngerem, mainkan betis sedemikian rupa ditekuk mengikuti arah mobil condong.

Truk yang kutumpangi berikutnya berplat F, tujuan Bogor dan sekitarnya. Saat di simpang 4 Bekasi aku turun, istirahat di musholla kecil, tak jauh dari persimpangan ini. Ba’da maghrib, aku jalan kaki mengikuti jalan raya ini menuju Ibukota Jakarta. Aku nggak ingat persisnya jam berapa nginjakkan kaki di kaki Monas, saat itu sudah mulai sepi. Aku beli sate singkong dan minum teh sambil memandangi puncak monas dan gedung di sekitarnya. Kira-kira tengah malam, aku menuju ke Masjid Istiqlal, masjid terbesar di negri ini. Setelah meminta ijin kepada penjaga di situ, akhirnya diijinkan tidur di bagian belakang masjid. Setelah sholat shubuh berjamaah, aku keliling masjid, naik ke tingkat paling atas, kulihat indahnya Jakarta berselimutkan pagi.

Tujuanku pagi ini adalah Sumatera. Maka segeralah aku parkir di persimpangan Grogol setelah melewati jalanan yang aku ngga hafal namanya. Yang kuingat hanya Universitas Trisakti karena sempat istirahat minum es teh di depan gedung tersebut. Sudah kuhafal kendaraan yang menuju Sumatera. Tak lama menunggu di lampu merah, ada truk kosong dengan tujuan Pulau Sumatera, aku cepat naik tanpa diketahui sopir. Truk melaju kencang di jalan tol. Ternyata truk ini belok di Bitung menuju kea rah Tangerang berhenti di depan sebuah pabrik.Aku turun bersamaan dengan keluarnya karyawan saat istirahat siang. Aku sudah ngga tau arah, aku terus saja jalan, sampailah aku di simpang 3 Jatiuwung. Aku duduk-duduk di warung Pak Usman yang orang Jawa. Ngobrol sana-sini, beliau mau bantu masukkan aku kerja di pabrik di samping warungnya. Sempat bantu-bantu di sini, makanya, aku bisa masak menu Jawa.

Dua tahun aku kerja serabutan di Tangerang ini, bosen kerja di pabrik, aku kembali kerja bangunan, sampai kulitku gosong. Fotokopian ijasah ini selalu kubawa, kemana pun aku pergi. Naluri keguruanku tetap ingin menjadi guru, belum kesampaian sampai saat itu. Kapankah saat itu datang? Pengalaman hidup dua tahun ini cukup menempaku, bagaimana hidup sendirian di perantauan. Suka-duka ini mengantarkanku bertemu seorang perempuan asal Kendal Jateng yang sekarang mendampingiku (semoga kekal terus, aamiin). Dia kerja di pabrik sepatu Spotec, kost-kostannya bersebelahan denganku. Singkat cerita, kami menikah di Nopember 1990.

Pelajaran yang dapat kalian ambil adalah bumi Allah ini luas, menyediakan kita untuk melihatnya. Demikian juga Ilmu Allah sangatlah luas untuk kemaslahatan kita, AlQur’an dalam arti luas terbentang di hadapan kita untuk kita raih sebagai sarana kompas kita melanjutkan perkehidupan ini.  Dimanapun kita berada, suka-duka itu biasa, asal kita yaqin, ALL IS WELL, SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA.