Sengaja kutuliskan sejarah hidupku ini dan kuposting di blog
sederhana ini dengan satu tujuan, barangkali ada yang membaca kisahku kemudian
mengambil pelajaran buat melanjutkan sisa hidup ini. Semoga menjadi amal
jariyah, aamiin….
Akhir 1998, aku sudah lulus dan sudah yudisium. Bulan
Januari 1999, mengikuti tes CPNS di Tenggarong dan lulus. Menunggu SK
Pengangkatan keluar, termasuk tantangan tersendiri. SK keluar di September,
dalam masa penantian ini, aku diajak oleh kenalan bekerja di perkebunan kelapa
sawit di Banjarbaru-Kalsel. Di sinilah aku jadi mengerti seluk-beluk menanam
sampai panen pohon kelapa sawit yang sedang menjadi primadona di Bumi Borneo.
Pengalaman mistis beberapa kali dihadapi teman-teman pekerja karena arealnya
bekas kuburan adat setempat.
Sepulang dari Banjar Baru, SK penempatan terbit. Tertera di
situ: Guru SD daerah terpencil Desa Miau Baru Kecamatan Muara Wahau, TMT
1-7-1999. Alhamdulillaahi robbil ‘aalaamiin…. Aku belum pernah ke wilayah ini.
Kalau dilihat di peta, dari lokasi transmigrasi kami itu masih jauh ke hulu
anak sungai Mahakam. Sekarang Ibukota Kecamatan Kongbeng Kabupaten Kutai Timur.
Saking senangnya, pagi hari menerima SK di kantor bupati Kutai, siangnya langsung
berangkat melaksanakan tugas dengan menumpang kapal/taksi air tujuan Muara
wahau dari pelabuhan Tenggarong. Perjalanan mudik sehari semalam cukup
melelahkan. Di kiri-kanan sungai terbentang hutan lebat dengan monyet
bergelantungan, seakan mengucapkan selamat kepadaku atas kesuksesan melewati
lubang jarum penghidupan. Kebetulan, di samping tempat dudukku itu orang Dayak
yang katanya bermukim di Desa Miau Baru. Sepanjang perjalanan beliau
menceritakan gambaran desa dan orang-orangnya dan bersedia kuikuti sampai ke
desanya, yah… hitung-hitung guide gratis…
Sesampainya di pelabuhan Muara
Wahau, oper mobil pick-up, kurang lebih 1,5 jam sampailah ke desa nan indah
ini. Rumah penduduknya rapat berderet rapi seperti perumahan. Ada 1500 KK
dengan mata pencaharian pokok berladang padi gunung. Aku turun di depan
sekolah, ternyata ada dua SDN. Saat di kantor dewan guru, aku dipersilahkan
duduk, disuguhi/dihidangkan teh hangat dan gorengan. Salah seorang guru senior
mengira aku sales yang menjual sepatu karena membawa dua tas ukuran sedang. Aku
tersenyum, kemudian kusodorkan SK. Barulah mereka berteriak kegirangan karena
selama ini sudah mengusulkan penambahan guru, baru kali inilah terkabul.
Akhirnya kami ketawa-ketiwi.
Aku
disediakan rumah dinas desa yang ukurannya besar bersandingan dengan gedung
serapo/balai pertemuan. Besoknya, aku diserahi tugas oleh bapak kepala sekolah (alm.) sebagai guru sekaligus wali kelas 6 merangkap
guru Pendidikan Agama Islam kelas 1 sampai dengan 6. Maklum, karena aku sendiri
yang guru muslim. Anak-anak yang muslim aku ajak belajar di masjid di hilir
kampung setiap sore. Setelah melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
sederhana selama 3 hari, aku menyimpulkan
bahwa dari 24 siswa kelas 6, hanya 5 orang siswa yang membaca dan
menulisnya lancar. Sedangkan mereka ini sudah mau ujian akhir sekolah.
Bagaimana bisa menyerap materi pembelajaran, jika membaca saja masih mengeja
dan bahkan ada 2 orang siswa yang tidak kenal huruf sama sekali?
Hari berikutnya, pada saat istirahat
sambil makan pisang goreng dan ubi rebus di ruangan dewan guru nan sempit,
sambil senyum-senyum aku jawab pertanyaan dari seorang guru di situ tentang
kesan-kesan pertama kali mengajar di kampung ini. Setelah menyampaikan hasil
penelitian di kelas yang aku ampu dengan menampilkan data hasil penilaian, aku
memberanikan diri (sebagai guru baru) mengajukan usul agar diizinkan membagi
kelas menjadi 3 bagian/kelompok (A, B, C) masih dalam satu ruangan kelas,
sesuai dengan tingkat penguasaan kebahasaannya. Aku memohon ijin selama 3 bulan
di akhir semester 1 ini, satu jam setiap hari, akan memberikan pelajaran
membaca menulis permulaaan memakai buku paket kelas satu agar anak-anak ini
lebih mudah memahami materi pelajaran.
Syukur alhamdulillaah, kepala sekolah dan teman-teman guru menyetujui
rencana mulia ini.“Atur aja, Pak Man,” kata salah seorang guru. Aku langsung action, menyampaikan Program Remedial Teaching kepada anak-anak
bangsa ini. Tidak jarang mereka saya ajak belajar di gedung serapo/balai desa
nan indah agar pelajaran lebih enjoy (PAKEM). Singkat cerita, pada saat akhir
semester 1 (genap 3 bulan), semuanya lancar membaca dan menulis bahkan mampu
mengarang bebas kecuali 2 orang siswa belum mampu mengikuti temannya. Menurut
keterangan orang tuanya pada saat aku melakukan kunjungan ke rumahnya, pada
saat masih bayi keduanya pernah jatuh
dan sakit keras.
Pada UAS tahun 2000, anak-anak ini
berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan dan melanjutkan ke SMP kemudian SMA
setempat dan ada juga yang ke Samarinda. Saat ini, sedang di semester akhir
kuliah di beberapa perguruan tinggi sambil bekerja dan yang tidak kuliah jadi
mandor di perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sudah mampu membiayai sekolah
adik-adiknya. Program KUTAI TIMUR CEMERLANG, menjadi nyata hasilnya.
Pada Awal 2000, aku mulai
menerima gaji sebagai guru PNS. Kehidupan kami mulai terlihat seperti orang
lain. Orang makan bakso, alhamdulillaah kami juga dapat membelinya.. Kami
sekeluarga tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istriku
kelihatan tambah manis, sementara anak-anakku semakin besar, mulai memasuki
usia SD. Sebagai bentuk manifestasi rasa syukur ini, aku membantu dalam
kegiatan masjid dan aktif di kegiatan desa maupun kecamatan. Sebagai Ketua
ta’mir masjid merangkap ketua panitia pembangunan masjid yang reyot, juga
sebagai Pembina muallaf. Pengalaman mendirikan masjid di Kampung Dayak ini akan
kuceritakan di bagian lain yoh….
Kalau dikatakan mukjizat, inilah
mukjizat yang indah dalam perjalanan mengayuh bahtera rumah tangga kami. ‘Mukjizat’
terbesar yang kurasakan selama 7 tahun di kampong ini adalah aku diterima di
semua lapisan masyarakat, karena aku ringan tangan.